Mulai kusadari pada persinggahan yang hampir
usai…bahwa hakekat aku bukanlah semacam kulit tipis yang membungkus raga, atau
susunan organ tubuh yang menyatu dengan sendirinya. Aku, dengan segala
keakuanku adalah ruang persemayaman bagi makna yang mengalir dengan lembut dan
teramat halus. Jikalau ada rintihan yang menyayat atau lolongan serigala di
tengah malam, maka itu bukanlah aku. Tapi suara-suara malam itu bisa saja
melewati selubung ragaku atau hanya sekedar meminjam suaraku yang parau agar
bisa diperdengarkan kepada para penghuni gua. Dan begitu pintarnya mereka untuk
bisa merasukiku, di kala keberadaanku pada tengah malam itu sengaja kupasrahkan
pada kesenyapan malam di gua-gua sempit, yang hanya ada kelelawar dan burung
hantu yang enggan menghiburku. Dan jadilah aku seperti suara-suara yang
menakutkan itu, melolong dan merintih seperti hantu yang sedang kelaparan. Bisa
saja caraku ini salah, tapi siapa yang mau bepergian pada tengah malam hanya
untuk sesuatu yang pastinya gelap. Tapi inilah aku, serpihan makna yang
mengalir dalam kendali insting.
Aku sedang sulit berpikir sedang apakah aku ini.
Apakah caraku ini adalah manifestasi dari jiwaku yang sulit didefinisikan.
Seperti lubang hitam yang menganga di atas langit yang gelap itu..terlalu
menakutkan untuk bisa ditelusuri kedalamannya. Ataukah ini hanyalah refleksi
dari kebiasaanku menonton film, semacam Harry Potter atau Twilight Saga – yang
mengimajinasi pada dimensi yang kelam dan sarat dengan aura kegelapan.
Terdengar berlebihankah ini, atau inilah cara terbaik untuk bisa terbebas dari
segala kerumitan emosi yang melumpuhkan daya nalar. Kesukaanku pada kondisi
seperti ini..yang menjadi tanda tanya besar tentang garis takdir yang sulit
dicegah.
Pada pertengahan malam tadi, dimana bulan berada
pada posisi yang telah sempurna – aku menatapnya dengan tenang dan mengatakan
kepadanya, bahwa pendaran cahayanya terlalu lembut untuk bisa aku serap. Aku
hanya basa-basi dengannya. Toh dia tak pernah bisa menjawab sapaanku. Tapi
siapapun atau makhluk apapun yang berada dalam posisiku ini..pastilah mengalami
eskalasi emosi yang mendorong bangkitnya hawa panas.. penuh ambisi, dan lapar.
Perlahan..darahku pun mulai mengalir deras..bulu-bulu lembut di sekujur tubuh
terangkat berdiri, dan daun telinga mulai bergerak sendiri seolah sedang
menangkap sinyal kuat akan sesuatu yang akan terjadi. Apakah aku ini, akankah
aku bermetamorfosa menjadi sosok yang sangat liar dengan taring putih yang
keras dan tajam. Aku mewarisi darah serigala.Tidak. Ini tidak mungkin. Seketika
aku terbangun dari meditasiku… mencoba untuk mengenali kesadaranku dan
mengembalikan semuanya pada kondisi awal.
Lalu dalam kisaran waktu kemudian, aku menarik
nafas dalam dan mulai melancarkan jurus terakhir..untuk menembus ambang
kesadaranku hingga menelusup pada wilayah yang sulit diramal situasinya. Aku
terpelanting hanyut ke dalam samudera bawah sadar, dimensi yang lebih dalam dan
memecah semua pertanda yang menggelayut dalam pikiran sadarku. Tak ada lagi
pendaran rembulan, wajah samar serigala..atau lolongan yang melelahkan.
Semuanya berada dalam titik yang menenangkan dan menyatu. Sebuah lingkungan
yang lebih nyata dan jelas. Dan cukup. Aku kembali terbangun dari meditasiku,
dan bergegas untuk tidur.
Sekarang…kini.. aku menulis lagi. Beberapa malam
belakangan ini, aku terbawa pada jebakan imajinasiku sendiri. Terkadang liar,
sadis, kelam…tapi sesekali juga ramah, lembut dan melankolis. Ini tidak seperti
yang aku inginkan. Aku hanya berusaha untuk memilih..antara bisikan iblis
ataukah fatwa malaikat. Antara kegilaan yang fatal atau kebajikan yang penuh
cinta. Lagi-lagi aku mempertanyakan dimanakah sebenarnya aku berdiri. Dimanakah
aku yang seharusnya? Apakah aku berada di tempat yang salah? Apakah aku ini?
Guru sejatiku melayangkan surat wasiat bahwa hakekat
aku hanyalah makna yang tidak memihak. aku..makna yang tidak kelihatan. dan
aku.. makna yang tak bermakna. Gitu katanya.