Dalam kesunyian malam, di sini aku berada di
antara dua sahabatku yang bernama rembulan dan bintang. Kami bertiga merupakan
sosok pribadi yang tegar, dan hubungan cinta kasih yang mengikat kami bertiga
begitu dalam, kuat, dan aneh. Bukan, bukan seperti itu, namun ini lebih dalam
dari kedalaman lautan, lebih kokoh dari kekokohan pegunungan, serta lebih aneh
dari keanehan kegilaanku.
Ribuan tahun demi ribuan tahun telah berlalu,
sejak fajar kelabu pertama membuat kami hanya bisa memandang satu sama
lain dalam beribu diam, dan pada hamparan jarak ribuan mil. Dan meskipun kami
telah melihat kelahiran, pertumbuhan, dan kematian dari beberapa dunia, kami
masih tetap muda dan kuat walaupun tidak mempunyai tempat bermain dan
berkumpul. Meskipun kami bertiga terletak dalam setengah pelukan yang tak bisa
dilepaskan dan membuat kami merasa selalu tak nyaman. Ada kerinduan mendalam
yang memisahkan kami, dan sekaligus mengikatkan kami pada selimut malam yang
semakin dingin.
Pada suatu purnama yang pendaran cahayanya tak
seberapa, kami memulai pembicaraan melalui lirihan malam yang pelan. Aku
berkata, “Katakan padaku wahai sahabat, apa yang kaupahami tentang hubungan
persahabatan ini?”
Sang rembulan lalu menjawab,”Sahabat adalah
kebutuhan jiwa yang musti terpenuhi. Dialah ladang hati yang bermukim di atas
hamparan jiwa setiap makhluk, yang pantas kautaburi dengan benih cinta kasih,
dan suatu saat bisa kaupetik dengan penuh rasa syukur. Dia pulalah tempat
bernaung dalam pendianganmu. Karena kau akan menghampirinya saat hatinya sedang
berduka, dan mencarinya saat jiwanya membutuhkan kedamaian. Bila dia mulai
berbicara mengungkapkan pikiran dan isi hatinya, kau tiada takut membisikkan
kata ‘tidak’, pun tiada kau bisa menyembunyikan kata ‘iya’.
Dan bilamana ia diam, hatimu tiada akan henti
mencoba merangkum bahasa hatinya, dan menerjemahkannya dengan penuh
hati-hati. Karena walau tanpa ungkapan kata satupun, rangkuman bahasa
persahabatan yang meliputi pikiran, hasrat, keinginan, dan cinta terlahir
secara bersama dalam suka cita yang utuh.”
Ia lalu melanjutkan, “Di kala perpisahan dengan
sahabat tiba masanya, janganlah ada duka. Karena yang paling kaukasihi dalam
dirinya, mungkin saja lebih cemerlang dalam ketiadaannya, dalam rentangan yang
berjarak. Bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, yang akan nampak pesonanya
saat berada pada sudut pandang di kejauhan.
Dan tiada maksud lain dari persahabatan, kecuali
saling memperkaya rajutan jiwa. Kandungan unsur persahabatan bisa saja terbebas
dari campur tangan cinta yang penuh jebakan. Karena cinta yang mencari sesuatu
di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta. Tetapi sebuah jala yang ditebarkan,
hanya menangkap hal yang tiada diharapkan.
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali musim pasangmu. Dan
janganlah kau senantiasa memohonnya, hanya sekedar bersama dalam membunuh sang
waktu. Berikanlah ia, untuk bersama dalam menghidupkan sang waktu. Bilasaja itu
mungkin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar