Senin, 14 Oktober 2013

Pertanda Aku

Mulai kusadari pada persinggahan yang hampir usai…bahwa hakekat aku bukanlah semacam kulit tipis yang membungkus raga, atau susunan organ tubuh yang menyatu dengan sendirinya. Aku, dengan segala keakuanku adalah ruang persemayaman bagi makna yang mengalir dengan lembut dan teramat halus. Jikalau ada rintihan yang menyayat atau lolongan serigala di tengah malam, maka itu bukanlah aku. Tapi suara-suara malam itu bisa saja melewati selubung ragaku atau hanya sekedar meminjam suaraku yang parau agar bisa diperdengarkan kepada para penghuni gua. Dan begitu pintarnya mereka untuk bisa merasukiku, di kala keberadaanku pada tengah malam itu sengaja kupasrahkan pada kesenyapan malam di gua-gua sempit, yang hanya ada kelelawar dan burung hantu yang enggan menghiburku. Dan jadilah aku seperti suara-suara yang menakutkan itu, melolong dan merintih seperti hantu yang sedang kelaparan. Bisa saja caraku ini salah, tapi siapa yang mau bepergian pada tengah malam hanya untuk sesuatu yang pastinya gelap. Tapi inilah aku, serpihan makna yang mengalir dalam kendali insting.
Aku sedang sulit berpikir sedang apakah aku ini. Apakah caraku ini adalah manifestasi dari jiwaku yang sulit didefinisikan. Seperti lubang hitam yang menganga di atas langit yang gelap itu..terlalu menakutkan untuk bisa ditelusuri kedalamannya. Ataukah ini hanyalah refleksi dari kebiasaanku menonton film, semacam Harry Potter atau Twilight Saga – yang mengimajinasi pada dimensi yang kelam dan sarat dengan aura kegelapan. Terdengar berlebihankah ini, atau inilah cara terbaik untuk bisa terbebas dari segala kerumitan emosi yang melumpuhkan daya nalar. Kesukaanku pada kondisi seperti ini..yang menjadi tanda tanya besar tentang garis takdir yang sulit dicegah.
Pada pertengahan malam tadi, dimana bulan berada pada posisi yang telah sempurna – aku menatapnya dengan tenang dan mengatakan kepadanya, bahwa pendaran cahayanya terlalu lembut untuk bisa aku serap. Aku hanya basa-basi dengannya. Toh dia tak pernah bisa menjawab sapaanku. Tapi siapapun atau makhluk apapun yang berada dalam posisiku ini..pastilah mengalami eskalasi emosi yang mendorong bangkitnya hawa panas.. penuh ambisi, dan lapar. Perlahan..darahku pun mulai mengalir deras..bulu-bulu lembut di sekujur tubuh terangkat berdiri, dan daun telinga mulai bergerak sendiri seolah sedang menangkap sinyal kuat akan sesuatu yang akan terjadi. Apakah aku ini, akankah aku bermetamorfosa menjadi sosok yang sangat liar dengan taring putih yang keras dan tajam. Aku mewarisi darah serigala.Tidak. Ini tidak mungkin. Seketika aku terbangun dari meditasiku… mencoba untuk mengenali kesadaranku dan mengembalikan semuanya pada kondisi awal.
Lalu dalam kisaran waktu kemudian, aku menarik nafas dalam dan mulai melancarkan jurus terakhir..untuk menembus ambang kesadaranku hingga menelusup pada wilayah yang sulit diramal situasinya. Aku terpelanting hanyut ke dalam samudera bawah sadar, dimensi yang lebih dalam dan memecah semua pertanda yang menggelayut dalam pikiran sadarku. Tak ada lagi pendaran rembulan, wajah samar serigala..atau lolongan yang melelahkan. Semuanya berada dalam titik yang menenangkan dan menyatu. Sebuah lingkungan yang lebih nyata dan jelas. Dan cukup. Aku kembali terbangun dari meditasiku, dan bergegas untuk tidur.
Sekarang…kini.. aku menulis lagi. Beberapa malam belakangan ini, aku terbawa pada jebakan imajinasiku sendiri. Terkadang liar, sadis, kelam…tapi sesekali juga ramah, lembut dan melankolis. Ini tidak seperti yang aku inginkan. Aku hanya berusaha untuk memilih..antara bisikan iblis ataukah fatwa malaikat. Antara kegilaan yang fatal atau kebajikan yang penuh cinta. Lagi-lagi aku mempertanyakan dimanakah sebenarnya aku berdiri. Dimanakah aku yang seharusnya? Apakah aku berada di tempat yang salah? Apakah aku ini?
Guru sejatiku melayangkan surat wasiat bahwa hakekat aku hanyalah makna yang tidak memihak. aku..makna yang tidak kelihatan. dan aku.. makna yang tak bermakna. Gitu katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar